Senin, 10 Mei 2010

Abah

Aku memanggilnya Abah.
Nama dia sebenarnya adalah Bah....din.
Dia ku kenal semenjak kami sama-sama belajar di sebuah Madrasah Aliyah di daerah pesisir.
kalau orang menyebut Tanjung Kodok pasti akan tahu sekolah kami yang berada di satu kecamatan yaitu Paciran, Lamongan. tapi tempat ini telah berubah total beberapa tahun lalu. tanjuk kodok berubah menjadi Tanjung Kodok Beach Resort. Di sebelahnya dipercantik dengan tempat wisata modern yang megah bernama Wisata Bahari Lamongan (WBL) .

Tapi, bukan tempat wisata ini yang akan ku ceritakan, adalah temanku abahlah yang ternyata lebih membuatku terkesan.

Kemaren, minggu (9 mei 2010) aku berkunjung ke rumahnya di daerah Batu.
dari Malang aku berangkat jam delapan pagi. Sampai di Masjid At-taqwa Muhammadiyah aku berhenti sebentar. selain mau menelpon Abah menanyakan rute ke rumahnya, aku juga mau sedikit meregangkan otot bahuku yang terasa ngilu. maklumlah, kami pergi bertiga dengan sepeda motor. aku, Papa dan Dede.
Dede yang sudah 11 kilo itu terlelap dalam gendonganku selama perjalanan.

Menyusuri kota Batu yang padat kendaraan bermotor menambah kelelahanku.
aku ingin cepat-cepat sampai di jalur kecil menuju rumah Abah.
"tinggal 2 lampu merah lagi kita akan lewat perkampungan yang sejuk bund", Papa berkata.
"sejauh apakah?" kataku
"tuh keliatan di depan. satu lagi yang dekat belokan itu lho. keliatan gak?. tuhyang ada bis besar sedang belok" terangnya.
"lho kita putar arah ikut bis itu?"
"enggak, kita belok menuju jalan kecilnya. yang ke utara"
"ooo"

tak berapa lama, Papa sudah melajukan motornya ke arah utara. pemandangannya jauh berbeda. lebih sejuk dan lebih segar udaranya. kami mencari petunjuk menuju kawasan Pesantren International Al-Izzah. jalurnya mudah dicapai.

begitu menginjakkan kaki pertama kali di parkiran pesantren, karena Abah sudah menunggu disana, mataku disuguhi pemandangan alam yang memukau. jajaran pinus dan cemara seolah unta berbaris (begitu abah menganalogkan), serta burung-burung beterbangan yang oleh warga sekitar di sebut kapal runtuh (baca: paralayang), sekelompok pemuda yang sedang out bond di indahnya bukit-bukit di atas kami. Subhanallah, Engkaulah Yang Maha indah dan Menjadikan sesuatu Yang Indah. Semoga keindahan alamMu membuat Ketundukan dan keimanan kami bertambah. Amien.

Tapi, bukan tempat ini yang akan ku ceritakan, adalah temanku abahlah yang ternyata lebih membuatku terkesan.

Abah membimbing kami memasuki Gerbang samping Pesantren. menyilahkan kami masuk di ruang pertama dari deretan panjang gedung di samping gerbang itu. Sebuah ruangan kecil sederhana dengan satu kamar tidur, ruang tamu yang di beri tirai untuk difungsikan sebagai kamar tidur untuk adiknya, satu kamar mandi yang bersambung dengan dapur sempit. sebagai ganti ruang tamu, ruang sisa sebesar kasur lipat Dede ukuran 1 m x 1 m menjadi tempat kami mengobrol dan menikmati segarnya buah apel yang Abah sajikan.

Tapi sekali lagi, bukan tempatnya yang akan ku ceritakan, adalah temanku abahlah yang ternyata lebih membuatku terkesan.

aku teringat ketika di parkiran dia menyapaku, "lho aku kira bawa mobil"
"ah kamu bisa aja. emang mobil siapa mau di bawa?" jawabku.

Setelah lama kami mengobrol, barulah aku faham bahwa sebenarnya dia ingin mengabarkan tentang mobil barunya. dia sudah punya mobil ternyata. mobil barunya bukan mobil baru yang masih gress, melainkan mobil tahun 89 yang baru dia beli seharga 13,5 Juta.
dalam hatiku aku bersyukur entah kenapa. mungkin karena aku senang akhirnya dia berhasil merasakan sedikit kebahagiaan dunia yang jarang dia rasakan (entah, sepertinya sejak aku mengenalnya sering kabar kurang gembira tentang kehidupannya tersaji di hadapku).
aku tidak pernah sengsara, dan akupun tidak pernah kelaparan atau sengaja melaparkan diri dengan alasan apapun seperti yang dia lakukan tapi kini aku belum mampu beli mobil yang terjelek sekalipun. aku salut sama dia.

Tapi, bukan bagian ini yang akan ku ceritakan, adalah temanku abahlah yang ternyata lebih membuatku terkesan. Kegigihannya melawan ketidakadilan hidup, semangatnya untuk belajar dan belajar segala hal untuk mencapai kesuksesan, semangatnya membangun usaha silih berganti dan kemandiriannya. Itulah Abah, teman yang aku tak tahu seperti apa sebenarnya eratnya persahabatan yang kami jalin sejak di Madrasah.

Sudah lama aku tak bertemu dengannya. ya, sejak kelulusan itu. HP belum populer. dan kamipun tak saling menyimpan nomor agar bisa terus berhubungan nantinya. begitu juga teman kami yang lain. kami semua lost contacs.

hingga pada suatu ketika, aku lupa tahun berapa, mungkin 2003an, aku bertemu dengannya di malang.
Di Kampus Putih Universitas Muhammadiyah Malang(UMM).
aku kuliah di salah satu jurusan di situ, sedang Abah mengambil program D2 Bahasa Arab kerjasama AMCF dengan kampus putih.
kebetulan aku juga ada kelas bahasa arab yang lokasinya sama dengan gedung Abah.
"ingin memperdalam agama melalui bahasa Arab" katanya pada awal perjumpaan kami.
aku terpana. dia yang kukenal begitu kelihatan kurang anrusias di kelas sekarang justru belajar bahasa arab intensif.

pertemuan kami selanjutnya, dia mengisahkan perjalanan hidup sebelumnya. selepas madrasah Aliyah, dia hijrah ke Jogja. belajar di sebuah pesanteren secara gratis. sengaja memang. dia memilih tempat belajar yang gratis, berisi dan memberi fasilitas asrama.

"kalau urusan makan gampang. di sana murah-murah. tinggal beli nasi kucing seharga 500an dua bungkus sudah kenyang. atau pergi ke warung si Mbok yang menjual Nasi dan lauk hanya 1500 rupiah sepuasnya."

sepuasnya, iya memang sepuasnya, menurut dia uang seribu limaratus itu untuk sekali datang bukan sekali makan. artinya, pembeli boleh menambah dan mengambil lauk sepusnya, sebanyak yang dia inginkan.lauknya bisa ayam, tempe goreng, ikan asin, sayur mayur, menu kuah dan mie goreng.
tak percaya? aku mendapat penguatan dari salah seorang teman yang beberapa hari berikutnya ku kenal lewat teman Papa.

dia selalu nampak tersenyum ketika menceritakan semua kisahnya. hanya kadang-kadang saja dia nampak lesu ketika mengingat ibunya. dia ingin sekali berhasil dan membahagiakan ibunya.

Di Malang, dia tinggal dengan salah seorang teman kami yang kuliah Universitas Negeri Malang(UM). sebut saja Has. Gratisan lagi. dia hanya cukup menyediakan diri untuk selalu memasakan semua warga dalam satu rumah kontrakan yang berjumlah 5 orang itu.
Jarak dari kontrakan ke UMM adalah sekitar 45 menit perjalanan dengan angkot. biayanya Rp.2000,00. tapi tetap saja dia tak sanggup. untungnya dia punya sepeda (entah darimana asal sepeda ini aku lupa). jadi, dia pergi kuliah dengan sepeda pancal itu.
Entah kebaikan  Has yang mulai luntur atau memang dia yang bersikeras untuk mandiri, Abah memutuskan untuk pindah mencari tempat tinggal.
Yang ku dengar dia bisnis keripik. tepatnya dia membantu di usaha keripik dekat kosku di daerah margojoyo. menurutnya bossnya sangat baik, sampai urusan makan diperhatikan juga. Abah selalu di jatah makan di tempat Bosnya, padahal tidak begitu dengan karyawan yang lain. tetapi mereka sama-sama di beri tempat tinggal.
ketika bisnis keripik mulai surut, dan kuliahnya juga agak berantakan, dia mencoba bisnis baru silih berganti aku tak bisa menghitungnya. yang jelas hampir semua tak nampak hasilnya. pernah dia membuka kedai ikan bakar yang bahan bakunya dia ambil sendiri dari Paciran. Nelayan langsung karena keluarganya memang nelayan. mereka tinggal di kampung pinggir pantai. tapi, setelah satu bulan, tidak terdengar lagi gaungnya. dan dia beralih profesi.

aku kehilangan kontak lagi. hingga aku lulus dan menikah.
pada kehamilan ke 8 bulan aku mendapat telpon dari Abah. rupanya dia sudah punya HP. dia katakan kalau dia sudah menikah dan istinya hamil 9 bulan. akupun kaget.
kamipun janjian ketemu untuk memperkenalkan pasangan masing-masing. entah kenapa halangan selalu datang dan kamipun baru beretemu beberapa bulan berikutnya ketika anakku sudah berumur 8bulan dan anaknya 9 bulan. tepat seperti usia kehamilan kami waktu itu.

Abah sering menelpon. dari sekedar berkabar-kabari hingga menceritakan perkembangan terbaru pencapaian kami. tidak ada perubahan signifikan yang bisa aku ceritakan dibanding cerita perjalanan abah.
sebelum menikah dia sudah bekerja di pesantren. menjadi juru masak katanya. tetapi lama-lama dia mengatakan jika dia tidaklah sekedar kuli di sana.
bagaimana tidak, segala urusan rumah tangga dan pekerjaan kasar lainnya dia kerjakan semua.
Abah tidak terang-terang mengeluh. tapi setiap kalimatnya menyiratkan bahawa dia jenuh diperlakukan seperti itu. namun, di satu sisi, di belum bisa meninggalkan pesantren itu.
bukan karena gaji atau uang atau pekerjaan, tapi karena semangat mengabdinya yang tulus.
tanpa bekerja di situ (lagi), ku rasa dia sudah sanggup menhidupi keluarga dan adiknya. uang hasil keringatnya yang ia tanam untuk modal bisnis kecil-kecilan sudah menghasilkan.
mulai berdagang Jilbab, baju dan mukena hingga beternak bebek. dia juga investasi di bidang lain di usaha teman-temannya yang maju. alhasil dia bisa membeli sepeda motor dan mobil walaupun semuanya bekas dan tua.
tapi aku tetap kagum. itu adalah keringatnya yang telah menjadi motor dan mobil. dan mungkin tabungannya juga berlebih saat ini mengingat dari Bebek saja dia menerima keuntungan bersih 500ribu sebulan, belum usaha yang lain.

itulah Abah, teman lama yang kutemui kembali dengan wajah yang masih selalu berhias senyum.
dengan kata -kata yang selalu menyusun kalimat semangat penuh keyakinan.
dengan mengumbar ide-ide enterpreneur yang ingin dia jalankan.
dengan masa depan cerah yang dia dambakan.

Abah adalah salah satu manusia yang beruntung karena naluri bisnisnya selalu jalan.
"otak bisnisnya hidup euy', puji Papa selalu terhadap kegigihan abah selama ini.

Selamat sobat atas keberhasilan dan pencapaianmu.
semoga keinginanmu untuk kembali kuliah (pengen ke Yaman) terkabul.
Pertolonagn Allah untuk Mu

NB : bulan april 2011 lalu saya mendapat kunjungan istimewa dari Abah dan mobil baru serta baby keduanya. Subhanallah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan, cerdas dan jelas.
terima kasih