Rabu, 23 Maret 2011

Masuk Koran

Setelah kemaren tiba-tiba di wawancara sama seorang perempuan yang ternyata wartawati Malang Post, hari ini namaku benar-benar tercantum di sana. Tapi kok kata-kataku diplintir ya??? Itu bukan di-edit tapi betul-betul dirubah sehingga menjadi kalimat baru. benar-benar baru. Oh wartawan adakah itu dalam kode etik jurnalismu????
Untuk para pembaca, berikut adalah Berita Lengkapnya!



Baby Sitter No, TPA Yes!
Selasa, 22 Maret 2011 13:43
Mencari nafkah adalah tugas dan kewajiban orang tua laki-laki (ayah). Namun di zaman yang kian dinamis dan kebutuhan yang semakin meningkat, perempuan (ibu) banyak yang ikut turun tangan untuk menambah pundi-pundi pemasukan keluarga. Kedua orang tua yang sama-sama bekerja menjadi hal yang wajar di zaman sekarang. Keputusan ini secara otomatis membuat anak ’dikorbankan’. Pengasuhan yang seharusnya di-handle sendiri oleh orang tua, minimal ibu, akhirnya dialihkan pada orang lain. Kepada kakek-nenek dan saudara terdekat, bisa juga kepada baby sitter.
Jika pengasuhan diserahkan pada kakek-nenek atau saudara, para orang tua bisa tenang. Pasalnya mereka sudah cukup mengenal karakter orang-orang terdekatnya itu. Namun jika diserahkan pada baby sitter yang tak lain adalah orang asing, kebanyakan orang tua masih meragukan. Seperti diutarakan oleh Yayuk Lisharnani.
”Mempekerjakan pengasuh anak memang sebuah solusi bagi perempuan yang bekerja seperti saya. Tetapi bukan solusi terbaik. Melihat banyaknya kasus yang melibatkan baby sitter dan beberapa pemberitaan yang terdapat di media, saya meragukan capability pengasuh anak. Selain kurang aman, pengasuh anak juga tidak memiliki pendidikan yang sesuai untuk kebutuhan anak,” terang Yayuk pada Malang Post.
Karena meragukan pengasuh anak, Yayuk pun mengambil cara lain agar buah hatinya tetap terawat meski ia dan suami tetap bekerja. Langkah yang diambil adalah menitipkan anaknya, Afiqa Fitri Layyina pada Tempat Penitipan Anak (TPA) yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Hal sama juga dilakukan Nurul Hidayah. Perempuan berusia 26 tahun ini bahkan sudah menitipkan buah hatinya, Mikael Amal Kareem sejak berusia 1,5 bulan. Di TPA yang memiliki sistem seperti sekolah anak-anak tersebut, Nurul mengaku lebih tenang menyerahkan pengasuhan anaknya.
”Kalau mempekerjakan pengasuh anak, saya harus mengajari dari nol. Tetapi ketika menitipkan di TPA, mereka sudah memiliki sistem sendiri. Tak hanya numpang makan, tidur dan main, selama di TPA, anak saya pun mendapat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya seperti materi yang terdapat di pre-school,” terang Nurul.
Marketing Outbond Petungsewu, Heni Lestari memiliki alasan yang hampir sama kenapa ia menitipkan anaknya di TPA. Ia mengaku ketika mempekerjakan pengasuh anak, ia tidak bisa tenang. Sebab selain kemampuan dan pendidikan yang tidak memadai, pengasuh anak tidak memiliki jadwal yang pasti.
”Pengalaman saya, libur pengasuh anak tidak terjadwal dengan pasti. Kadang-kadang mereka minta libur sesukanya. Kalau pas saya sedang senggang tidak masalah, tetapi ketika sibuk dengan pekerjaan kantor, saya yang akan kelimpungan,” urai Heni. (nda/han)


Anak Lebih Disiplin dan Mandiri
Menitipkan anak di TPA sebenarnya bukan hal yang baru. Namun di Indonesia yang masih memegang budaya ketimuran yang kuat, keputusan ini dinilai kurang wajar. Banyak yang beranggapan menitipkan anak sama halnya dengan menelantarkan mereka.
Nurul mengaku, dalam keluarga besarnya, menitipkan anak di TPA sementara kedua orang tua tetap bekerja adalah fenomena baru. Bahkan tak jarang yang menilai menitipkan anak di TPA sama dengan menitipkan anak di panti asuhan. Namun hal ini tidak menghentikan langkah Nurul. Pasalnya, selama berada di TPA, anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik. Bahkan dari beberapa sisi, Mikael memiliki nilai tambah setelah bergabung di TPA.
”Nilai tambah yang bisa didapat oleh anak saya setelah bergabung dengan TPA adalah mereka memiliki rasa sosial yang cukup tinggi. Sebab sehari-harinya mereka bertemu dengan banyak orang. Tidak hanya seumuran, tetapi ada juga yang lebih muda dan lebih tua dari usianya,” terang Nurul.
Selain memiliki rasa sosial sejak dini, dengan mengikuti sistem pendidikan dan pengasuhan di TPA, Nurul mengaku anaknya memiliki kedisiplinan yang tinggi dan mandiri. Sebab di TPA, setiap anak diajarkan untuk tidak manja dan bisa melakukan aktivitas sehari-harinya.
”Kalau hanya diasuh satu orang (pengasuh anak), anak biasanya akan bergantung dan manja. Tetapi kalau di TPA, mereka diajarkan untuk disiplin dan mandiri meski masih kecil,” kata karyawan UMM ini.
Diasuh dengan pengasuh anak, lanjut Nurul, tidak hanya membuat si anak manja, tetapi juga masih tetap merepotkan dirinya. Sebab, ia juga harus turun tangan sendiri untuk mengecek pola pengasuhan baby sitter yang membantunya. Tetapi ketika dititipkan di TPA, Nurul cukup membaca laporan perkembangan anaknya yang tercatat dengan baik setiap harinya.
Senada dengan Nurul, Heni juga merasakan manfaat yang sama dari pengasuhan anak di bawah TPA. Mulai jadwal makan, minum susu, bermain, pelajaran, tidur, hingga toilet training ada semua. Ia tidak perlu memikirkan bagaimana tumbuh kembang buah hatinya karena sudah mendapat materi lengkap selama dititipkan.
”Tak perlu bingung-bingung mengecek satu per satu aktivitas anak selama di TPA. Semuanya sudah terjadwal. Paling hanya memeriksa kelengkapan selama anak di TPA. Misalnya saja susu, makanan ringan dan handuk untuk mandi. Selebihnya, sudah ditangani dengan baik dan terjadwal dengan sistematis,” pungkasnya. (nda/han)

Belajar Berteman Hingga Toilet Training
Salah satu TPA yang ada di Malang adalah TPA As-Sakinah Baby School Sengkaling. TPA ini berada di bawah Yayasan Aisyiyah dan berdiri sejak delapan tahun yang lalu. Selama berdiri, puluhan bahkan ratusan anak sudah mereka tangani.
Usia anak didik yang berada di bawah pengasuhan TPA As-Sakinah Baby School cukup beragam. Mulai dari usia dua-tiga bulan hingga enam tahun. Namun kebanyakan orang tua yang menitipkan anak di TPA ini sejak anaknya berusia 2-3 bulan, tepatnya setelah masa cuti sang ibu berakhir.
”Kami sendiri pernah menerima bayi yang masih berusia 40 hari. Orang tuanya sengaja menitipkan di sini karena harus mengikuti ujian S3 di bangku kuliahnya,” terang Kepala TPA As-Sakinah Baby School, Laily F Wulandari SE.
Bagi Laily, TPA merupakan solusi yang lebih baik dibandingkan dengan menyerahkan pengasuhan anak pada baby sitter. Pasalnya, selama berada di TPA, anak tidak hanya diasuh seperti ibu yang mengasuh buah hatinya, tetapi juga mendapat materi pelajaran untuk menunjang pertumbuhannya.
”Aktivitas di TPA hampir mirip seperti sekolah (playgroup dan TK). Di sini, selain makan, bermain dan tidur, anak-anak juga mendapat materi pelajaran. Selain itu juga diajarkan bersosialisasi antar sesama penghuni TPA,” ujar perempuan yang akrab disapa Leli ini.
TPA As-Sakinah Baby School memiliki kegiatan yang terjadwal. Pagi hari pukul 07.00-08.00 diawali dengan penyambutan kedatangan anak didik. Namun tak jarang ada juga anak didiknya yang datang pukul 09.00 atau lebih. Sebab jam kedatangan mengikuti aktivitas orang tua masing-masing.
Setelah itu kegiatan dimulai dengan membangun suasana belajar dengan gerakan ringan seperti senam dan menyanyi. Penting bagi anak-anak memulai aktivitas dengan kegiatan seperti ini agar mood mereka terbentuk. Apalagi tak jarang di antara mereka yang ketika diantar oleh ibu atau ayahnya merengek tidak mau masuk TPA.
”Kegiatan selanjutnya belajar berteman. Ada kalanya mendongeng, terkadang belajar menyusun balok,” sambungnya.
Begitu kegiatan belajar selesai, anak didik akan diarahkan untuk minum susu dan menikmati bekal kue yang dibawa dari rumah masing-masing. Kemudian disambung dengan toilet training. Setelah itu waktu bermain dengan durasi sekitar satu jam.
“Siang harinya kegiatan dilanjutkan dengan makan siang, istirahat, mandi, kegiatan belajar lagi hingga menunggu penjemputan,” imbuh ibu satu anak ini. (nda/han)
 
Sumber : http://www.malang-post.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=62&Itemid=89