Senin, 18 April 2011

Nama Novelnya "Pelangi Di Atas Gelagahwangi"

Apa teman-teman kenal dengan S. Tidjab?
Setidaknya pernah mendengar namanya, mungkin?
Atau justru mengenal sangat dekat dan menjadi penggemarnya?

Atau ada yang ingat di masa kecil dulu bahwa radio sangat digemari.
Saban hari orang mendengar radio.
"Sinetron" Radio yang berupa penuturan cerita tanpa gambar, ya iyalah namanya juga radio ya tidak bergambar.Atau yang sering disebut sandiwara radio. Pernah dengar???

Tutur tinular, Kaca Benggala, Mahkota Mayangkara.
Itu adalah tiga Sandiwara radio yang paling laris dan paling favorit.
Apakah ada memori tentang ini????
Saya Punya.

Ketika 1 minggu yang lalu saya menemukan sebuah novel di salah satu rak perpustakaan, ada nama S. Tidjab di sana. Walaupun belum pasti siapa dia sebenarnya, saya langsung mengambil dan meminjamnya.
Setelah ku amati tulisan-tulisan yang tersemat di sampul depan dan belakang aku langsung sadar kalau ini benar S. Tidjab yang di Radio itu.

saya serasa kembali di jaman kecil dulu ketika sore hari bersama ibu duduk di ruang depan sambil khusyuk mendengar untaian kisah-kisah yang ditulis oleh beliau. Saya kembali merasakan dibawa berpetualang ke hutan, beradu ajian dan ilmu kanuragan, mendengar derikan kuda, dll.

Atau di pagi hari menjelang ibu ke pasar, beliau menyempatkan mendengar Tutur Tinular dulu.
Sayapun menemaninya.
Betapa radio sangat mengasikkan.

Aku menjadi rindu masa-masa itu. Masa -masa dimana imaji-ku berkelana liar seiring prolog sang sutradara dan dialog sang pemain serta suara latar yang mengiringi.
 Suasana yang masih saya rindukan di umur 26 ini. Ah...

Baiklah, sebetulnya aku ingin membicarakan Novel Pelangi di Atas Gelagahwangi karya S. Tidjab yang ku pinjam di perpustakaan.
Novel ini di angkat dari Naskah Sandiwara RAdio beliau yang di siarkan di 100 radio di seluruh Indonesia pada 2007 dan diterbitkan dalam novel di 2008.

Setelah membaca novel ini saya benar-benar setuju dengan pendapat Ferry Fadli dalam buku ini bahwa "S. Tidjab berhasil memadukan tokoh fiksi dan sejarah dengan sangat sempurna". Saya sampai hanyut terbawa dalam perpaduan ini. Sungguh mengesankan.

Di mulai dari kisah ketaatan manusia pada tuhannya yang saat itu kepercayaan yang tumbuh adalah Hindu Syiwa serta kejayaan kerajaan MAjapahit lalu keruntuhannya serta penyebaran Islam yang dibumbui kisah percintaan dan pergulatan manusia dalam memperoleh hidayahNYA menjadikan novel ini patut dibaca siapa saja di semua kalangan umur.

Kalau orang saat ini meributkan film Tanda Tanya karya HAnung Bramantyo karena dianggap Pluralis, kenapa mereka tidak belajar dulu dari novel ini dan perilaku para Sunan yang diceritakan didalamnya. dan mungkin Hanung sendiri juga perlu membaca novel ini jika memang belum baca.

Bukannya membenarkan film Hanung karena saya sendiri juga belum menonton filmnya, hanya saja sejauh yang saya ikuti perkembangannya di internet dan koran yang dipermasalahkan adalah tagline film yang kurang lebih berbunyi "masih perlukah kita berbeda?" dan penggunaan seragam salah saru kelompok.
Yah kalau seandainya memang ada unsur di film itu yang tidak sesuai aturan mari dibicarakan dengan baik-baik dan bijaksana.

Di halaman awal Novel saya tersentuh kalimat dari penulis yang berbunyi " untuk saudara-saudaraku kaum muslim yang ingin memahami lebih dalam makna ungkapan bismillahirrahmanirrahiim". Entah apa maksud sebenarnya si Penulis, tetapi yang saya tangkap bahwa segala hal yang kita niatkan dengan bismillah janganlah pernah berputus asa akan nikmat-NYA karena rahman dan rahimmNYA akan selalu terlimpah pada hambanya yang taat. Ketika kita berniat dengan bismillah maka selalu gunakan cinta dan kasih sayang dalam meraihnya sebagaimana rahman dan rahimNYA tercurah untuk kita semua.

So, gak banyak nulis lagi. Saya hanya mau bilang novel ini benar-benar mengajarkan pada saya pribadi akan pentingnya sebuah keterbukaan pikiran dan wawasan yang berdasar ilmu dan pemahaman bukan nafsu.




manusia hidup tanpa kepemilikan dan kebiasaan. Pada dasarnya manusia tidak mempunyai apa-apa dan tidak bisa apa-apa. semua benda atau wujud duniawi yang di aku sebagai miliknya adalah barang titipan. pada hakikatnya, manusia tidak mempunyai apa-apa selain kekosongan" (Resi Wiyasa dalam Pelangi di Atas Gelagahwangi)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan, cerdas dan jelas.
terima kasih